Kode Etik Jurnalistik serta Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab – Pada kesempatan ini admin Pengertian Belajar
akan berbagi informasi mengenai Kode Etik Jurnalistik serta Pers yang
Bebas dan Bertanggung. Di sini akan dipaparkan 3 hal, yaitu Pengertian
Kode Etik, Bentuk-bentuk Kode Etik dan Kebebasan Pers.
Pengertian Kode Etik
Kode
etik merupakan suatu sistem norma, nilai serta aturan profesional
secara tertulis dan dengan tegas menyatakan yang baik dan juga benar,
serta apa yang tidak benar dan juga tidak baik bagi profesional. Atau
secara singkat definisi dari kode etik adalah suatu pola aturan, tata
cara, tanda, pedoman etis di dalam melakukan suatu kegiatan ataupun
suatu pekerjaan. Kode etik juga merupakan suatu pola aturan atau tata
cara sebagai pedoman untuk berperilaku.
Pengertian
lain dari kode etik ialah suatu aturan yang tertulis, secara sistematik
dengan sengaja di buat dengan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang
ada serta ketika dibutuhkan bisa di fungsikan sebagai alat yang dapat
digunakan menghakimi berbagai macam dari tindakan yang pada umumnya
dinilai menyimpang dari kode etik yang ada.
Bentuk-bentuk Kode Etik
Dalam
melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik, wartawan penyiar
tunduk pada kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Selama
abad ke-19, semakin banyak surat kabar dan majalah yang menyuarakan
reformasi politik dan sosial sebagai metode menarik pembaca. Para
wartawan terus bekerja sebagai penjaga mayarakat. Para wartawan yang
meliputi perang Vietnam (1959 – 1975) yakin bahwa para pejabat
pemerintah tidak memberitahukan kebenaran tentang keterlibatan Amerika
Serikat disana. Mereka jadi sangat berpengaruh dalam memutar opini
public dari mendukung menjadi penantang perang tersebut.
Adapun bentuk-bentuk kode etik dalam pers adalah sebagai berikut:
- Menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar
- Menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi
- Menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampuradukan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu menliti kebenaran informasi serta tidak melakukan flagiat
- Tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan asusila
- Tidak menerima uang suap dan tidak menyalahgunakan profesi
- Memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan
Indoensia
belum ada kode etik peliputan pemilu yang disepakati bersama, sehingga
setiap menjelang pemilu sejumlah organisasi wartawan sibuk membuat
rumusan kode etik. Dalam Lokakarya peliputan pemilu 2004 yang diadakan
lembaga pers Dr. Soetomo di Cianjur 21-25 April 2003 muncul kode etik
berikut :
- Pola dan tujuan pemberitaan pemilu hendaknya direncang untuk membantu masyarakat
- Media agar membentuk tim peliputan pemilu sedini mungkin
- Media pers mendorong partai-partai politik menggunakan media massa dalam strategi kampanye
Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab
Selama
ini banyak orang (terutama kaum awam) yang menduga, mengira atau
menganggap (karena tidak tahu) bahwa pers adalah lembaga yang berdiri
sendiri, tidak terkait dengan masyarakat. Dalam anggapan seperti itu,
seorang wartawan atau jurnalis hanyalah seorang buruh yang bekerja di
perusahaan pers berdasarkan assignment atau penugasan redaksi. Tak
ubahnya seorang tukang yang bekerja sekedar untuk mencari sesuap nasi –
tanpa rasa tanggung jawab moral terhadap profesi dan masyarakat.
Pastilah ia tidak mengerti hakikat kebebasan pers, atau bahkan mengira
bahwa kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi pers dan
wartawan.”Padahal, media pers (cetak, radio, televisi, online –
selanjutnya disebut media atau pers) sesungguhnya merupakan kepanjangan
tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa
politik disebut rakyat.
Dalam
sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan
rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi
penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia
politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton,
sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the
absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup,
kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai
konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat
hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan,
diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.
Dalam
kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili
publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut
“pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press)
sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka.
Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas
Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun
1802 menulis, “Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah
tanpa pers, atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya
akan memilih yang kedua.” Padahal, selama memerintah ia tak jarang
mendapat perlakuan buruk dari pers AS. Mengapa kebebasan pers sangat
penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan pers
sesungguhnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil
sebagai bagian dari hak asasi manusia. Salah satu hak sipil itu ialah
hak untuk mengetahui (the right to know) sebagai implementasi dari dua
hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau berpendapat (freedom
to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression).
Dengan
demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali
lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan
kepentingan publik. Namun, karena publik tidak mungkin mengakses
informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan
tangan” atau “penyambung lidah.”
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Pers Indonesia,
kebebasan pers baru diakui secara konstitusional setelah 54 tahun
Indonesia merdeka secara politik, yaitu dalam UU Nomor 40/1999 tentang
Pers. Meskipun demikian, pengertian kebebasan pers belum dimengerti
secara merata oleh publik Indonesia. Bahkan para pejabat dan kalangan
pers sendiri pun – yang mestinya lebih mengerti masih ada yang kurang
faham mengenai makna dan pengertrian kebebasan pers yang sesungguhnya.
Oleh
karena mengemban tugas luhur dan mulia itulah, pers yang bebas juga
harus memiliki tanggung jawab yang dirumuskan dalam naskah Kode Etik
Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai “bebas dan
bertanggung jawab.” Belakangan, pengertian “bebas” menjadi kabur
terutama di zaman pemerintahan Presiden Soeharto gara-gara sikap
pemerintah yang sangat represif, sementara pengertian “bertanggung
jawab” dimaknai sebagai “bertanggung jawab kepada pemerintah.” Padahal,
yang dimaksud dengan bebas ialah bebas dalam mengakses informasi yang
terbuka; sementara yang dimaksud dengan bertanggung jawab ialah
bertangung jawab kepada publik, kebenaran, hukum, common sense, akal
sehat.
Jika
posisi pers benar-benar ideal, yaitu “bebas dan bertanggung jawab”
sebuah rumusan ala Indonesia yang menurut saya sangat tepat – maka pers
dapat berposisi sebagai “anjing penjaga” (watch dog) sehingga hak-hak
rakyat terlindungi, sementara pemerintah tidak menyalah-gunakan
kekuasaan secara sewenang-wenang. Begitu penting dan idealnya posisi
pers dalam sebuah negara yang demokratis, sehingga kedudukannya
disamakan dengan the fourth estate (kekuasaan ke empat) yang dianggap
sejajar dengan tiga pilar demokrasi yang lain yaitu lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif.
Pers
Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan
rakyat dari penjajajahan. Ketika itulah pers bahu membahu dengan kaum
pergerakan, bahkan mengambil peran penting dalam perjuangan
politik. Pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Ketika negeri
ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai
cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden
Soekarno mendekritkan “demokrasi terpimpin” (1962) pers Indonesia ikut
pula terpimpin. Ketika Presiden Soeharto memperkenalkan “demokrasi
pancasila” (1970) – yang hakikatnya sami mawon dengan “demokrasi
terpimpin”, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi
(1989) pers Indonesia benar-benar bebas.
Ada
pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan,
pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya. Di lain pihak,
publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan
aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak
semestinya – bahkan main hakim sendiri), bahkan meneror wartawan dan
kantor media pers. Ini semua adalah dampak dari reformasi, ketika
(sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.
Sebagai
dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers
memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk
menerbitkan media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers
cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi dan radio.
Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas
berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak
mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi
standar kualitas: tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang
dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih
mengutamakan sensasi.
Dalam
mengakses informasi ia harus obyektif, mendalaminya dari berbagai sudut
yang memungkinkan, sehingga dapat memperoleh atau menggambarkan sebuah
kasus secara lengkap, akurat dan obyektif. Lepas dari apakah dia
mendapat gaji besar atau kecil, wartawan yang baik seharusnya
profesional, independen, memiliki integritas yang tinggi. Cuma sayang
sekali, banyak perusahaan pers yang “tidak sempat” menyelenggarakan
inhouse training bagi wartawan dan redakturnya. Celakanya, ada juga
(sebagian) wartawan yang tak mampu menulis berita yang baik. Bahkan ada
yang tak faham persyaratan berita yang klasik: 5-W (who, what, when,
where, why) dan 1-H (how).
Ia
juga tak canggung menulis berbagai jenis berita, mulai dari straight
news, breaking news sampai feature. Dengan kata lain, skill (kemampuan,
keterampilan) maupun personal quality ataupun integritasnya benar-benar
mumpuni. Lebih dari itu, ia punya the nose of news (kemampuan mengendus
jenis berita), mana berita yang biasa-biasa saja, dan mana berita yang
layak dimuat, atau bahkan eksklusif. Ia mampu melihat dengan jeli apa
yang disebut news value – sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih
seabad silam, “When a dog bite a man that is not a news, but when a man
bites a dog that is a news” (Jika ada seokor anjing menggigit orang hal
itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing hal itu baru
berita). Selain itu, ia mampu pula menembus sumber berita, tidak hanya
melakukan wawancara yang lazim, melainkan juga mampu melakukan
investigative reporting – kemudian menyajikannya sebagai feature yang
mendalam, indeph reporting, indeph feature.
Bagaimana
menghadapi wartawan sejenis itu? Gampang. Tolak, atau lebih tegas lagi:
laporkan kepada polisi sebagai kasus pemerasan. Kalau memang Anda
bersih, tidak punya aib yang merugikan publik, seharusnya tidak khawatir
diancam akan dicemarkan oleh “wartawan gadungan” di yellow paper (”pers
kuning”) atau pers yang sensasional.
Terakhir,
jika ada yang bertanya, bagaimana mengukur impact sebuah berita, tentu
saja hal itu bukan lagi garapan wartawan atau redaktur sebagai praktisi,
melainkan lahan bagi pakar ilmu komunisi (yang pasti bukan petugas
humas, public relations) yang bisa berbicara mengenai “realitas media”
dan “realitas sosial” dan kaitannya dengan kecenderungan framing di
kalangan media.
Kebebasan
Pers adalah kebebasan menggunakan pendapat, baik secara tulisan maupun
lisan, melalui media pers, seperti harian, majalah, dan buletin.
Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya untuk menegakkan keadilan,
ketertiban, dan keamanan dalam masyarakat. Kebebasan pers harus disertai
tanggung jawab sebab kekuasaan yanb besar dan bebas yang dimiliki
manusia mudah sekali disalahgunakan dan dibuat semena-mena. Demikian
juga pers harus mempertimbangkan apakah berita yang disebarkan dapat
menguntungkan masyarakat luas atau memberi dampak positif pada
masyarakat dan bangsa. Inilah segi tanggung jawab pers. Jadi, pers
diberikan kebebasan dengan disertai tanggung jawab sosial.
Landasan Hukum Kebebasan Pers di Indonesia
Kebebasan
pers adalah kebebasan dalam konsep, gagasan, prinsip, dan nilai cetusan
yang bersifat nalriah kemanusiaan di mana pun manusia berada. Nilai
kemanusiaan adalah naluri mengeluarkan perasaan hati kepada orang lain
sebagai pribadi yang suaranya ingin diperhitungkan dan timbul dari
keinginannya untuk menegaskan eksistensinya. Untuk itu, jenis kebebasan
meliputi hal-hal berikut.
- Kebebasan pers (freedom of the press)
- Kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat (freedom of the opinion and expression)
- Kebebasan berbicara (freedom of the speech)
Kebebasan
untuk menyampaikan, mempunyai, dan menyiarkan pendapat melalui pers
dijamin oleh konstitusi negara di mana pun pers berada. Oleh sebab itu,
jaminan kebebasan pers bersifat universal. Hal ini dijamin dalam Piagam
HAM PBB (Universal Declaration of Human Rights) Pasal 19 yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat. Dalam
hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk
mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui
media apa pun dengan tidak memandang batas-batas wilayah.
Kebebasan
berbicara untuk memperoleh informasi merupakan salah satu hak asasi
manusia. Hak asasi tersebut dijamin dalam ketentuan perundang-undangan
dan merupakan hak setiap warga negara. Negara Indonesia telah menjamin
hak kebebasan berbicara dan informasi bagi warga negara. Jaminan
kebebasan berbicara dan informasi itu, antara lain sebagai berikut.
Pasal
28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.”
Pasal
28 F UUD 1945, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia.”
Tap
MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Bab VI, Pasal 20 da 21
yang isinya sebagai berikut. (20) “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya.” (21) “Setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluaran yang tersedia.”
Undang-Undang
No. 29 Tahun 2000 Pasal 14 Ayat 1 dan 2 tentang Hak Asasi Manusia. (1)
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperolah informasi yang
diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.” (2)
“Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
sarana yang tersedia.”
Teori tentang Kebebasan Pers
Kebebasan Pers memiliki empat aliran yang menghasilkan teori mengenai pers. Teori tersebut adalah sebagai berikut.
Teori Pers Totalitarian
Teori
ini muncul di Rusia pada abad ke-19. Falsafah teori totalitarian adalah
media massa sebagai alat negara untuk menyampaikan segala sesuatunya
kepada rakyat. Pengguna media adalah anggota partai yang setia. Media
massa dikontrol secara ketat oleh pemerintah dan dilarang melakukan
kritik atas tujuan dan kebijakan.
Teori Pers Libertarian
Teori
ini muncul di Inggris, kemudian masuk ke Amerika hingga keseluruh
dunia. Falsafah teori ini adalah pers memberi penerangan dan hiburan
dengan menghargai sepenuhnya individu. Teori libertarian menganut paham
ideologi kebebasan pers yang sebebas-bebasnya tanpa ada campur tangan
pengontrol terhadap media di dalamnya. Ideologi inilah yang diterapkan
oleh media massa yang bercorak free press. Pers menjadi alat kontrol
masyarakat kepada pemerintah dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Teori Pers Social Responsibility
Teori
ini menyatakan bahwa pers memiliki tanggung jawab sosial. Teori ini
dikembangkan di Amerika pada abad ke-20. Falsafah teori ini adalah pers
memberikan penerangan, hiburan, dan menjual produk. Namun, pers dilarang
melanggar kepentingan orang lain dan masyarakat. Teori ini berada di
tengah antara teori authoritarian dan libertarian. Hingga saat ini,
dunia pers di Amerika menganut teori social responsibility yang berada
netral di antara kedua kutub yang ada.
Teori Pers Authoritarian
Teori
ini dikembangkan di Inggrismulai abad ke-16 dan 17, kemudian ke seluruh
dunia. Falsafah teori authoritarian adalah pers menjadi kekuasaan
mutlak kerajaan atau pemerintah yang berkuasa guna mendukung
kebijakannya. Pers difungsikan untuk mengabdi pada kepentingan negara.
Dengan demikian, yang berhak menggunakan media komunikasi adalah siapa
pun yang mendapat izin dari kerajaan atau pemerintah. Teori ini
memberikan keleluasaan kepada negara untuk melakukan intervensi kepada
pers.
Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Pers
Undang-Undang
No. 40 Tahun 1999 tentang pers menyebutkan, “Kemerdekaan pers adalah
suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi,
keadilan, dan supremasi hukum”. Ini artinya, kemerdekaan pers bukan
berarti pers merdeka dan bebas sebebas-bebasnya dalam menyajikan berita,
melainkan juga harus diikuti dengan kesadaran akan pentingnya
penyampaian berita yang santun, berkaidah jurnalistik, dan menjujung supremasi hukum.
Tanggung
jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik wartawan harus
benar-benar dijalankan, tidak hanya dijadikan “Raja Kertas” yang harus
megalah demi kepentingan pragmatis. Inilah makna hakiki kebebasan pers
yang bertanggung jawab, masyarakat perlu lebih selektif dalam memilih
pemberitaan. Saat ini, kebebasaan pers dan kebebasan berpendapat, secara
kontraproduktif justru dimanfaatkan oknum-oknum media untuk menyimpang
dari orientasi perjuangan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Berikut
adalah penyampaian informasi/berita yang disalahgunakan.
- Distori informasi: lazimnya dengan menambah atau mengurangi infirmasi, akibatnya maknanya berubah.
- Dramatisasi fakta palsu: dapat dilakukan dengan memberikan ilustrasi secara verbal, auditif ataupun visual yang berlebihan mengenai suatu objek.
- Mengganggu privacy: hal ini dilakukan melalui peliputan yang melanggar hak-hak pribadi narasumber.
- Pembunuhan karakter: dilakukan dengan cara terus menerus menonjolkan sisi buruk individu/kelompok/organisasi tanpa menampilkan secara berimbang dengan tujuan membangun citra negatif yang menjatuhkan.
- Eksploitasi seks: media menampilkan seks sebagai komodiatas secara serampangan tanpa memperhatikan batasan norma dan kepatuhan.
- Meracuni pikiran anak-anak: ekploitasi kesadaran berpikir anak yang diarahkan secara tidak normal pada hal-hal yang tidak mendidik.
- Peyalahgunaan kekuasaan (abuse of power): media menyalahgunakan kekuatannya dalam mempengaruhi opini publik dalam suatu praktik mass deception (pembohongan massa).
Kode Etik Jurnalistik serta Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab
Reviewed by Herwandi
on
Januari 17, 2019
Rating: